Birokrasi Indonesia, Hegelian atau Marxis?
SALAH satu perbedaan mendasar antara GWF Hegel dan Karl Marx adalah pandangannya terhadap birokrasi pemerintahan. Meski dua tokoh ini memiliki hubungan dalam hal pemikiran dan dalam atmosfer filsafat Jerman yang dikenal dengan tradisi esoterisnya, mereka juga memiliki perbedaan perspektif tentang birokrasi negara.
Penjungkirbalikan filsafat Hegel oleh Marx seakan berlanjut ke dunia administrasi publik bagi pengelolaan sektor negara. Ternyata, perbedaan ini penting untuk direfleksikan lebih jauh atas eksistensi birokrasi di Indonesia. Pertanyaan pokoknya, apakah birokrasi di Indonesia bercorak Hegelian atau Marxis?
Yang dimaksud birokrasi Hegelian adalah birokrasi yang berjalan kurang lebih ekuivalen dengan yang dipikirkan dan dirumuskan Hegel. Begitu pula birokrasi Marxis, yaitu birokrasi yang mekanisme, proses, dan segenap orientasi yang ada di dalamnya mirip dengan apa yang dibicarakan atau dikritik tajam oleh Karl Marx. Dalam konstelasi demikian, tulisan ini dimaksudkan untuk memberi klarifikasi atas birokrasi Indonesia, masuk kategori mana sebenarnya, Hegelian atau Marxis?
Dua perspektif
Dalam buku Birokrasi dan Politik di Indonesia (Thoha, 2003) sebenarnya sudah ada penjelasan jelas tentang beberapa perbedaan mendasar antara birokrasi pemerintah dalam perspektif Hegelian dan perspektif Marxis. Meski buku itu tak memberi elaborasi lebih lanjut, apakah Indonesia lebih dekat pada salah satu perspektif, kita dapat mengajukan konklusi tentang kenyataan yang ada berdasar fakta-fakta keras tercabiknya rasionalitas sosial.
Menurut perspektif Hegelian, birokrasi tak lain adalah medium yang mempertemukan kepentingan rakyat dan pemerintah. Berdasar perspektif ini berarti lahir sebuah aksioma, birokrasi mengemban tugas besar berupa harmonisasi hubungan antara rakyat dan pemerintah, bahkan mempersamakan geist rakyat dengan geist pemerintah.
Dalam posisinya sebagai medium itulah birokrasi menyucikan dan memurnikan diri untuk tak terjebak pada kepentingan subyektif. Birokrasi dalam hal ini berarti harus apolitik dan hanya menjalankan sebuah prinsip, yang dirumuskan secara canggih oleh Max Weber dalam format altruisme "rasionalitas" dan "efisiensi". Inilah konstruksi tentang realisme birokrasi yang terus diimajinasikan sebagai bebas nilai.
Hegel dengan sendirinya berbicara tentang kedudukan birokrasi yang amat penting bagi tegaknya humanisme. Birokrasi selalu diimajinasikan sebagai messiah yang bertugas membendung kemungkinan terjadinya benturan antara kepentingan rakyat dan kepentingan pemerintah.
Dalam aksioma inilah birokrasi dieksplisitkan menjadi keniscayaan bagi berlangsungnya pembaruan sosial. Kejumudan, dekadensi, dan kemungkinan timbulnya penggerogotan atas kemanusiaan, dapat dielakkan sejauh ada sebuah birokrasi pemerintah. Agaknya, pandangan Hegel yang amat optimistik atas peran sosiologis birokrasi itu merupakan derivasi dari filsafat idealisme yang dalam sejarah filsafat Barat modern tokoh besarnya memang Hegel.
Namun di seberang pemikiran yang lain, Karl Marx tampil dengan pandangan yang kontras terhadap Hegel. Ia mengkritik tajam apa yang diaksiomakan Hegel tentang birokrasi negara sebagai medium untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan umum. Suatu hal yang khas Marxis dalam pandangan Marx ialah bahwa kepentingan partikular dan kepentingan umum hingga kapan pun tak mungkin dapat dipertemukan.
Dalam perspektif Marxis, birokrasi, kepentingan partikular, dan kepentingan umum merupakan tiga domain yang pengakuan akan keberadaannya bersifat spekulatif. Domain tertentu amat spekulatif dibanding domain yang lain.
Problema besar dalam perspektif Marxis adalah negara yang tak pernah mempresentasikan kepentingan umum. Bahkan kenyataan tak terbantahkan menurut perspektif Marxis ialah sama sekali tak adanya kepentingan umum itu.
Hukum besi sejarah selalu memperlihatkan kepentingan partikular yang menghegemoni kepentingan partikular lain dalam kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, kepentingan partikular yang memenangkan perjuangan kelas tampil menjadi kekuatan dominan untuk kemudian menghegemoni birokrasi (Thoha, 2003: 23).
Hingga di sini menjadi jelas, kita dalam dilema yang tak mengenal titik akhir antara aspek ideal dan realitas faktual. Jika Hegel bicara birokrasi dalam pengertian ideal, maka Marx mengemukakan kritik atas realitas birokrasi yang tak lebih hanya mesin bagi kepentingan partikular yang dominan.
Kita dan Birokrasi
Betapapun mungkin tak pernah disadari, birokrasi di Indonesia sebenarnya adalah birokrasi yang lebih dekat dengan gambaran Marx atau manifestasi dari kritik-kritik Marx. Suatu hal yang tak terbantahkan ialah birokrasi yang tak berfungsi sebagai agen negara guna mempertemukan secara utuh kepentingan rakyat dan kepentingan pemerintah. Birokrasi malah berfungsi sebagai broker yang mengambil keuntungan dalam proses intermediasi dari dua pihak sekaligus, yaitu rakyat dan pemerintah.
Baik pada era Orde Baru maupun masa sesudahnya, birokrasi Indonesia hanya mampu memenuhi satu imperatif Weberian, yaitu hierarkis-piramidal. Sedangkan untuk imperatif lain, yakni rasional dan efisien, birokrasi Indonesia jauh dari yang diharapkan.
Pandangan Marx bahwa birokrasi merupakan wujud nyata kepentingan partikular yang menghegemoni kepentingan partikular lain menemukan aksentuasinya secara nyata di Indonesia. Saat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) terkristalisasi menjadi kecenderungan dalam ranah politik kekuasaan, maka kian mencolok posisi birokrasi sebagai kepentingan partikular yang menghegemoni kepentingan partikular lain (baca: kepentingan rakyat). Bukan saja kemiskinan, bencana alam dan konflik horizontal merupakan masalah yang sering gagal ditangani birokrasi, prospek peningkatan kesejahteraan sosial atas prakarsa genuine rakyat sendiri sering diruntuhkan oleh bekerjanya tangan-tangan birokrasi.
Dalam situasi demikian, wajar jika birokrasi pemerintah bergerak secara masif sebagai ladang subur persemaian korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hingga Indonesia ada di tengah tuntutan besar rakyatnya sendiri akan reformasi, KKN tetap tegak sebagai parasit sosial yang tak dapat dicerabut dari tubuh birokrasi. Ditambah lagi dengan tak berlakunya netralitas politik, kian tak terelakkan jika birokrasi menjadi persemaian subur KKN. Maka kita harus membuat pengakuan, birokrasi yang telanjur menjadi predator bagi kehidupan rakyat Indonesia adalah kekuatan sosial politik yang mandul dari kemampuan membarui segala bidang kehidupan: kesejahteraan sosial, kemajuan berpikir, dan perbaikan daya saing bangsa berhadapan dengan bangsa lain di dunia.
Bertolak dari kenyataan ini, maka perbaikan birokrasi di Indonesia seharusnya dimulai dengan kritik serius dan mendalam atas eksistensi birokrasi. Kerangka dan paradigma berpikir bagi konstruksi kritisisme itu didasarkan pendekatan Marxis. Karena itu, sudah saatnya kita tak hanya melihat pemikiran-pemikiran Marxis dalam konteks ideologis.
Relevansi pendekatan Marxis dalam mencari jalan keluar atas penyakit sosial birokrasi terletak pada daya kritis pendekatan Marxis yang secara substansial mengusung pesimisme radikal atas kedudukan, peran, dan fungsi birokrasi. Pendekatan inilah yang kini dibutuhkan demi mendiagnosa hingga tuntas kebobrokan birokrasi.
Semoga dengan pendekatan ini, lahir inspirasi besar bagi penemuan kembali birokrasi kita yang humanis. Kita sebenarnya tinggal menghitung hari menyongsong kehancuran bangsa ini, jika birokrasi dibiarkan terus-menerus berjalan sebagaimana terjadi selama ini.
Regards,
Ekky.
No comments:
Post a Comment